Tidak selalu harus berwujud 'bunga'



Tulisan ini sudah lama sekali pernah saya baca, namun pagi ini muncul kembali diemail saya.

Yang ngirim bunda.

Mungkin sudah waktunya saya menyimak lagi tulisan ini.

---------------------------------------------------------------------------

Tidak Selalu Harus Berwujud "Bunga"

Suami saya adalah seorang insinyur, saya mencintai

sifatnya yang alami dan saya menyukai perasaan hangat

yang muncul di perasaan saya, ketika saya bersandar di

bahunya yang bidang.


Tiga tahun dalam masa perkenalan, dan dua tahun dalam

masa pernikahan, saya harus akui, bahwa saya mulai

merasa lelah, alasan-alasan saya mencintainya dulu

telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan.

Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar

sensitif serta berperasaan halus. Saya merindukan

saat-saat romantis seperti seorang anak yang

menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah

saya dapatkan.


Suami saya jauh berbeda dari yang saya harapkan.

Rasa sensitif-nya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam

menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan

kami telah mementahkan semua harapan saya akan cinta

yang ideal.


Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan

keputusan saya kepadanya, bahwa saya menginginkan perceraian.

"Mengapa ?", tanya suami saya dengan terkejut.

"Saya lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta

yang saya inginkan," jawab saya.

Suami saya terdiam dan termenung sepanjang malam di

depan komputernya, tampak seolah-olah sedang

mengerjakan sesuatu, padahal tidak. Kekecewaan saya

semakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak

dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa

saya harapkan darinya ?

Dan akhirnya suami saya bertanya," Apa yang dapat saya

lakukan untuk merubah pikiran kamu ?"

Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan

pelan, "Saya punya pertanyaan, jika kau dapat

menemukan jawabannya di dalam perasaan saya, saya akan

merubah pikiran saya:

Seandainya, saya menyukai setangkai bunga indah yang

ada di tebing gunung. Kita berdua tahu jika kamu

memanjat gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan

memetik bunga itu untuk saya ?"

Dia termenung dan akhirnya berkata,"Saya akan

memberikan jawabannya besok."

Perasaan saya langsung gundah mendengar responnya.

Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya

menemukan selembar kertas dengan oret-oretan tangannya

dibawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang

bertuliskan...

"Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu,

tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya."

Kalimat pertama ini menghancurkan perasaan saya. Saya

melanjutkan untuk membacanya.

"Kamu selalu pegal-pegal pada waktu ' teman baik kamu

' datang setiap bulannya, dan saya harus memberikan

tangan saya untuk memijat kaki kamu yang pegal."

"Kamu senang diam di rumah, dan saya selalu kuatir

kamu akan menjadi aneh'.

Saya harus membelikan sesuatu yang dapat menghibur

kamu di rumah atau meminjamkan lidah saya untuk

menceritakan hal-hal lucu yang saya alami."

"Kamu selalu terlalu dekat menonton televisi, terlalu

dekat membaca buku, dan itu tidak baik untuk kesehatan

mata kamu.

Saya harus menjaga mata saya agar ketika kita tua

nanti, saya masih dapat menolong mengguntingkan kuku

kamu dan mencabuti uban kamu."

"Tangan saya akan memegang tangan kamu, membimbing

kamu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan

pasir yang indah.

Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar dan indah

seperti cantiknya wajah kamu."

"Tetapi Sayang, saya tidak akan mengambil bunga indah

yang ada di tebing gunung itu hanya untuk mati..

Karena, saya tidak sanggup melihat air mata kamu

mengalir menangisi kematian saya."

"Sayang, saya tahu, ada banyak orang yang bisa

mencintai kamu lebih dari saya mencintai kamu. Untuk

itu Sayang, jika semua yang telah diberikan tangan

saya, kaki saya, mata saya tidak cukup buat kamu, saya

tidak bisa menahan kamu untuk mencari tangan, kaki,

dan mata lain yang dapat membahagiakan kamu."


Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat

tintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha

untuk terus membacanya.


"Dan sekarang, Sayang, kamu telah selesai membaca

jawaban saya. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini,

dan tetap menginginkan saya untuk tinggal di rumah

ini, tolong bukakan pintu rumah kita, saya sekarang

sedang berdiri di sana menunggu jawaban kamu."

"Jika kamu tidak puas dengan jawaban saya ini, Sayang,

biarkan saya masuk untuk membereskan barang-barang

saya, dan saya tidak akan mempersulit hidup kamu.

Percayalah, bahagia saya adalah bila kamu bahagia."

Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya

berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil

tangannya memegang susu dan roti kesukaan saya.

Oh, kini saya tahu, tidak ada orang yang pernah

mencintai saya lebih dari dia mencintai saya.

Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah

berangsur-angsur hilang dari perasaan kita, karena

kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam

wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya

telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita

bayangkan sebelumnya.

Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud

cinta dari pasangan kita, dan bukan mengharapkan wujud

tertentu. Karena cinta tidak selalu harus berwujud "bunga".

No comments: