Makna Sebuah Titipan
Entah kenapa saya selalu ingin menuliskannya. Ini adalah judul salah satu puisi karya WS Rendra. Mungkin sudah banyak yang mengenalnya. Dialah si Burung Merak. Saya tidak akan mengajak para pembaca untuk menjadi sastrawan. Atau belajar susastra. Tetapi lebih kepada pemahaman hidup dan kehidupan.
Pembelajaran bisa kita dapatkan dari siapa pun. Pencerahan bisa datang dari mana saja. Tak kenal waktu. Bahkan tak terduga. Asalkan baik, tidak bertentangan dengan nash atau dalil. Juga hidup itu terlalu indah untuk dilewatkan. Jadi, mari kita nikmati luasnya kehidupan ini. Hiruplah keanekaragamannya. Pandanglah warnanya. Sebab hidup tidak selamanya hanya hitam dan putih, kadang abu-abu bahkan penuh warna.
Kalau Ibnu Hajar dapat inspirasi karena tetesan air ke sebuah batu dalam hal belajar. Atau Mushashi yang dapat inspirasi dari pertunjukan topeng monyet, dalam menyempurnakan ilmu samurainya. Barangkali, lewat puisi ini bisa menggugah kesadaran kita dalam meningkatkan kepahaman tentang hidup dan aras ibadah kita. Lewat rangkaian kata – kata. Bukan hal yang mustahil, bisa menjadi sebuah inspirasi, point of view, tentang ibadah, musibah dan doa dari someone else. Yang jelas ini bukan dalil, tetapi cuma sebuah esai. Sebuah cermin dari esensi kehidupan, dari seorang pujangga kata-kata.
Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan
Bahwa mobilku hanya titipan Nya, bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya
Tetapi, mengapa aku tidak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yg bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh Nya?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah,
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja yang melukiskan bahwa itu adalah derita
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yg cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta, lebih banyak mobil, lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan.
Seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika:
“aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku” dan
menolak keputusan Nya yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah…
“Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”
Selesai membaca puisi ini, seolah-olah saya dinasehati. Tersentak. Begitu gagahnya untaian kalimat itu menghunjam sanubari saya. Tanpa jeda. Runut dan tegas. Mengingatkan manusia arti harta - benda yang dititipkan Allah kepadanya. Betapa angkuhnya manusia ketika barang titipanNya diambil oleh yang punya, terus meronta – ronta.
Kedua, perlakuan kita dalam berdoa dan beribadah yang menjadikan Allah sebagai mitra dagang. Apa beda mitra dagang dan kekasih? Rendra sudah menjelaskan. Dan itu terasa ngeneki banget dengan tingkah laku saya selama ini. Saya jadi teringat cerita Nabi Ibrohim. Bagaimana dia bisa mendapat julukan Kholilullooh – kekasih Allah. Tak ada di dunia ini yang mendapat gelar itu, kecuali dia. Tak lain pengorbanan dan ibadahnya yang tiada tara kepada-Nya. Bagaimana dia harus menyembelih anaknya. Bagaimana dia harus meninggalkan anak dan istrinya.. Padahal baru saja melahirkan di padang tandus yang tiada berpeghuni. Hanya karena tugas, sebagaimana ditanyakan Hajar; Afillah? Itulah gambaran kekasih.
Kenapa nggak paham – paham aku ini? Apalagi sampai pada kesimpulan, Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja. Sungguh masih jauh. Hidup ini, maunya yang enak – enak saja. Emoh yang sedih dan sengsara. Padahal, keduanya hakikinya sama. Berpasangan. Ohh,.......!
Padahal Allah telah berfirman; ”Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun.” (QS al-Baqoroh 155 – 156)
No comments:
Post a Comment