Banyak Shalat, Puasa dan Sedekah Hanya Untuk Memperlancar Rizki

oleh Muhammad Abduh Tuasikal

Alhamdullillahillad zi hamdan katsiron thoyyiban mubaarokan fiih kamaa
yuhibbu Robbunaa wa yardho. Allahumma sholli ‘ala nabiyyina Muhammad wa
‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.

Itulah yang sering kita lihat pada umat Islam saat ini. Mereka memang
gemar melakukan puasa sunnah (yaitu puasa Senin-Kamis dan lainnya), namun
semata-mata hanya untuk menyehatkan badan sebagaimana saran dari beberapa
kalangan. Ada juga yang gemar sekali bersedekah, namun dengan tujuan untuk
memperlancar rizki dan karir. Begitu pula ada yang rajin bangun di tengah
malam untuk bertahajud, namun tujuannya hanyalah ingin menguatkan badan.
Semua yang dilakukan memang suatu amalan yang baik. Tetapi niat di dalam
hati senyatanya tidak ikhlash karena Allah, namun hanya ingin mendapatkan
tujuan-tujuan duniawi semata. Kalau memang demikian, mereka bisa termasuk
orang-orang yang tercela sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut.

Dengan Amalan Sholeh Hanya Mengharap Keuntungan Dunia, Sungguh Akan Sangat
Merugi.
Allah Ta’ala berfirman,

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya
Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan
sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang
yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat
itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah
mereka kerjakan.” (QS. Hud [11] : 15-16)

Yang dimaksud dengan “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia” yaitu
barangsiapa yang menginginkan kenikmatan dunia dengan melakukan amalan
akhirat. Yang dimaksud “perhiasan dunia” adalah harta dan anak. Mereka
yang beramal seperti ini: “niscaya Kami berikan kepada mereka balasan
pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak
akan dirugikan”. Maksudnya adalah mereka akan diberikan dunia yang mereka
inginkan. Ini semua diberikan bukan karena mereka telah berbuat baik,
namun semata-mata akan membuat terlena dan terjerumus dalam kebinasaan
karena rusaknya amalan mereka. Dan juga mereka tidak akan pernah
yubkhosuun, yaitu dunia yang diberikan kepada mereka tidak akan dikurangi.
Ini berarti mereka akan diberikan dunia yang mereka cari seutuhnya
(sempurna).

Dunia, mungkin saja mereka peroleh. Dengan banyak melakukan amalan sholeh,
boleh jadi seseorang akan bertambah sehat, rizki semakin lancar dan karir
terus meningkat. Dan itu senyatanya yang mereka peroleh dan Allah pun
tidak akan mengurangi hal tersebut sesuai yang Dia tetapkan. Namun apa
yang mereka peroleh di akhirat?
Lihatlah firman Allah selanjutnya (yang artinya), “Itulah orang-orang yang
tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka”. Inilah akibat orang yang
hanya beribadah untuk mendapat tujuan dunia saja. Mereka memang di dunia
akan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Adapun di akhirat, mereka tidak
akan memperoleh pahala karena mereka dalam beramal tidak menginginkan
akhirat. Ingatlah, balasan akhirat hanya akan diperoleh oleh orang yang
mengharapkannya. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah
itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu’min, maka mereka itu adalah
orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS. Al Israa’: 19)

Orang-orang seperti ini juga dikatakan: “lenyaplah di akhirat itu apa yang
telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka
kerjakan”. Ini semua dikarenakan mereka dahulu di dunia beramal tidak
ikhlas untuk mengharapkan wajah Allah sehingga ketika di akhirat,
sia-sialah amalan mereka. (Lihat penjelasan ayat ini di I’aanatul
Mustafid, 2/92-93)
Sungguh betapa banyak orang yang melaksanakan shalat malam, puasa sunnah
dan banyak sedekah, namun itu semua dilakukan hanya bertujuan untuk
menggapai kekayaan dunia, memperlancar rizki, umur panjang, dan lain
sebagainya.

Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhu- menafsirkan surat Hud ayat 15-16. Beliau
–radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,
“Sesungguhnya orang yang riya’, mereka hanya ingin memperoleh balasan
kebaikan yang telah mereka lakukan, namun mereka minta segera dibalas di
dunia.”
Ibnu ‘Abbas juga mengatakan,
“Barangsiapa yang melakukan amalan puasa, shalat atau shalat malam namun
hanya ingin mengharapkan dunia, maka balasan dari Allah: “Allah akan
memberikan baginya dunia yang dia cari-cari. Namun amalannya akan sia-sia
(lenyap) di akhirat nanti karena mereka hanya ingin mencari dunia. Di
akhirat, mereka juga akan termasuk orang-orang yang merugi”.”

Perkataan yang sama dengan Ibnu ‘Abbas ini juga dikatakan oleh Mujahid,
Adh Dhohak dan selainnya. Qotadah mengatakan,
“Barangsiapa yang dunia adalah tujuannya, dunia yang selalu dia cari-cari
dengan amalan sholehnya, maka Allah akan memberikan kebaikan kepadanya di
dunia. Namun ketika di akhirat, dia tidak akan memperoleh kebaikan apa-apa
sebagai balasan untuknya. Adapun seorang mukmin yang ikhlash dalam
beribadah (yang hanya ingin mengharapkan wajah Allah), dia akan
mendapatkan balasan di dunia juga dia akan mendapatkan balasan di
akhirat.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, tafsir surat Hud ayat 15-16)

Hanya Beramal Untuk Menggapai Dunia, Tidak Akan Dapat Satu Bagianpun Di
Akhirat
Kenapa seseorang beribadah dan beramal hanya ingin menggapai dunia? Jika
seseorang beramal untuk mencari dunia, maka dia memang akan diberi. Jika
shalat tahajud, puasa senin-kamis yang dia lakukan hanya ingin meraih
dunia, maka dunia memang akan dia peroleh dan tidak akan dikurangi. Namun
apa akibatnya di akhirat? Sungguh di akhirat dia akan sangat merugi. Dia
tidak akan memperoleh balasan di akhirat disebabkan amalannya yang hanya
ingin mencari-cari dunia.
Namun bagaimana dengan orang yang beramal dengan ikhlash, hanya ingin
mengharap wajah Allah? Di akhirat dia akan memperoleh pahala yang berlipat
ganda.

Allah Ta’ala berfirman,
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah
keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di
dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada
baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (QS. Asy Syuraa: 20)

Ibnu Katsir –rahimahullah- menafsirkan ayat di atas,
“Barangsiapa yang mencari keuntungan di akhirat, maka Kami akan
menambahkan keuntungan itu baginya, yaitu Kami akan kuatkan, beri nikmat
padanya karena tujuan akhirat yang dia harapkan. Kami pun akan menambahkan
nikmat padanya dengan Kami balas setiap kebaikan dengan sepuluh kebaikan
hingga 700 kali lipat hingga kelipatan yang begitu banyak sesuai dengan
kehendak Allah. … Namun jika yang ingin dicapai adalah dunia dan dia tidak
punya keinginan menggapai akhirat sama sekali, maka balasan akhirat tidak
akan Allah beri dan dunia pun akan diberi sesuai dengan yang Allah
kehendaki. Dan jika Allah kehendaki, dunia dan akhirat sekaligus tidak
akan dia peroleh. Orang seperti ini hanya merasa senang dengan
keinginannya saja, namun barangkali akhirat dan dunia akan lenyap
seluruhnya dari dirinya.”

Ats Tsauri berkata, dari Mughiroh, dari Abul ‘Aliyah, dari Ubay bin Ka’ab
-radhiyallahu ‘anhu-, beliau mengatakan,
“Umat ini diberi kabar gembira dengan kemuliaan, kedudukan, agama dan
kekuatan di muka bumi. Barangsiapa dari umat ini yang melakukan amalan
akhirat untuk meraih dunia, maka di akhirat dia tidak mendapatkan satu
bagian pun.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya, Al Hakim dan
Al Baiaqi. Al Hakim mengatakan sanadnya shahih. Syaikh Al Albani
menshahihkan hadits ini dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib)

Terdapat pula riwayat dalam Al Baihaqi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Umat ini diberi kabar gembira dengan kemudahan, kedudukan dan kemulian
dengan agama dan kekuatan di muka bumi, juga akan diberi pertolongan.
Barangsiapa yang melakukan amalan akhirat untuk mencari dunia, maka dia
tidak akan memperoleh satu bagian pun di akhirat. ”

Tanda Seseorang Beramal Untuk Tujuan Dunia
Al Bukhari membawakan hadits dalam Bab “Siapa yang menjaga diri dari
fitnah harta”.
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Celakalah hamba dinar, dirham, qothifah dan khomishoh. Jika diberi, dia
pun ridho. Namun jika tidak diberi, dia tidak ridho, dia akan celaka dan
akan kembali binasa.” (HR. Bukhari). Qothifah adalah sejenis pakaian yang
memiliki beludru. Sedangkan khomishoh adalah pakaian yang berwarna hitam
dan memiliki bintik-bintik merah. (I’aanatul Mustafid, 2/93)

Kenapa dinamakan hamba dinar, dirham dan pakaian yang mewah? Karena mereka
yang disebutkan dalam hadits tersebut beramal untuk menggapai harta-harta
tadi, bukan untuk mengharap wajah Allah. Demikianlah sehingga mereka
disebut hamba dinar, dirham dan seterusnya. Adapun orang yang beramal
karena ingin mengharap wajah Allah semata, mereka itulah yang disebut
hamba Allah (sejati).
Di antara tanda bahwa mereka beramal untuk menggapai harta-harta tadi atau
ingin menggapai dunia disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam selanjutnya: “Jika diberi, dia pun ridho. Namun jika tidak diberi,
dia pun tidak ridho (murka), dia akan celaka dan kembali binasa”. Hal ini
juga yang dikatakan kepada orang-orang munafik sebagaimana dalam firman
Allah,
“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat;
jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan
jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta
mereka menjadi marah.” (QS. At Taubah: 58)

Itulah tanda seseorang dalam beramal hanya ingin menggapai tujuan dunia.
Jika dia diberi kenikmatan dunia, dia ridho. Namun, jika kenikmatan dunia
tersebut tidak kunjung datang, dia akan murka dan marah. Dalam hatinya
seraya berujar, “Sudah sebulan saya merutinkan shalat malam, namun rizki
dan usaha belum juga lancar.” Inilah tanda orang yang selalu berharap
dunia dengan amalan sholehnya.

Adapun seorang mukmin, jika diberi nikmat, dia akan bersyukur. Sebaliknya,
jika tidak diberi, dia pun akan selalu sabar. Karena orang mukmin, dia
akan beramal bukan untuk mencapai tujuan dunia. Sebagian mereka bahkan
tidak menginginkan mendapatkan dunia sama sekali. Diceritakan bahwa
sebagian sahabat tidak ridho jika mendapatkan dunia sedikit pun. Mereka
pun tidak mencari-cari dunia karena yang selalu mereka harapkan adalah
negeri akhirat. Semua ini mereka lakukan untuk senantiasa komitmen dalam
amalan mereka, agar selalu timbul rasa harap pada kehidupan akhirat.
Mereka sama sekali tidak menyukai untuk disegerakan balasan terhadap
kebaikan yang mereka lakukan di dunia.

Akan tetapi, barangsiapa diberi dunia tanpa ada rasa keinginan sebelumnya
dan tanpa ada rasa tamak terhadap dunia, maka dia boleh mengambilnya.
Sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits dari ‘Umar bin Khottob,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan suatu pemberian
padaku.” Umar lantas mengatakan, “Berikan saja pemberian tersebut pada
orang yang lebih butuh (lebih miskin) dariku. Sampai beberapa kali, beliau
tetap memberikan harta tersebut padaku.” Umar pun tetap mengatakan,
“Berikan saja pada orang yang lebih butuh (lebih miskin) dariku.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Ambillah harta
tersebut dan harta yang semisal dengan ini di mana engkau tidak merasa
mulia dengannya dan sebelumnya engkau pun tidak meminta-mintanya. Ambillah
harta tersebut. Selain harta semacam itu (yang di mana engkau punya
keinginan sebelumnya padanya), maka biarkanlah dan janganlah hatimu
bergantung padanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sekali lagi, begitulah orang beriman. Jika dia diberi nikmat atau pun
tidak, amalan sholehnya tidak akan pernah berkurang. Karena orang mukmin
sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya. Adapun orang yang selalu mengharap
dunia dengan amalan sholehnya, dia akan bersikap berbeda. Jika dia diberi
nikmat, baru dia ridho. Namun, jika dia tidak diberi, dia akan murka dan
marah. Dia ridho karena mendapat kenikmatan dunia. Sebaliknya, dia murka
karena kenikmatan dunia yang tidak kunjung menghampirinya padahal dia
sudah gemar melakukan amalan sholeh. Itulah sebabnya orang-orang seperti
ini disebut hamba dunia, hamba dinar, hamba dirham dan hamba pakaian.

Beragamnya Niat dan Amalan Untuk Menggapai Dunia
Niat seseorang ketika beramal ada beberapa macam:

[Pertama] Jika niatnya adalah murni untuk mendapatkan dunia ketika dia
beramal dan sama sekali tidak punya keinginan mengharap wajah Allah dan
kehidupan akhirat, maka orang semacam ini di akhirat tidak akan
mendapatkan satu bagian nikmat pun. Perlu diketahui pula bahwa amalan
semacam ini tidaklah muncul dari seorang mukmin. Orang mukmin walaupun
lemah imannya, dia pasti selalu mengharapkan wajah Allah dan negeri
akhirat.

[Kedua] Jika niat seseorang adalah untuk mengharap wajah Allah dan untuk
mendapatkan dunia sekaligus, entah niatnya untuk kedua-duanya sama atau
mendekati, maka semacam ini akan mengurangi tauhid dan keikhlasannya.
Amalannya dinilai memiliki kekurangan karena keikhlasannya tidak sempurna.

[Ketiga] Adapun jika seseorang telah beramal dengan ikhlash, hanya ingin
mengharap wajah Allah semata, akan tetapi di balik itu dia mendapatkan
upah atau hasil yang dia ambil untuk membantunya dalam beramal (semacam
mujahid yang berjihad lalu mendapatkan harta rampasan perang, para
pengajar dan pekerja yang menyokong agama yang mendapatkan upah dari
negara setiap bulannya), maka tidak mengapa mengambil upah tersebut. Hal
ini juga tidak mengurangi keimanan dan ketauhidannya, karena semula dia
tidak beramal untuk mendapatkan dunia. Sejak awal dia sudah berniat untuk
beramal sholeh dan menyokong agama ini, sedangkan upah yang dia dapatkan
adalah di balik itu semua yang nantinya akan menolong dia dalam beramal
dan beragama. (Lihat Al Qoulus Sadiid, 132-133)

Adapun amalan yang seseorang lakukan untuk mendapatkan balasan dunia ada
dua macam:

[Pertama] Amalan yang tidak disebutkan di dalamnya balasan dunia. Namun
seseorang melakukan amalan tersebut untuk mengharapkan balasan dunia, maka
semacam ini tidak diperbolehkan bahkan termasuk kesyirikan.
Misalnya: Seseorang melaksanakan shalat Tahajud. Dia berniat dalam hatinya
bahwa pasti dengan melakukan shalat malam ini, anaknya yang akan lahir
nanti adalah laki-laki. Ini tidak dibolehkan karena tidak ada satu dalil
pun yang menyebutkan bahwa dengan melakukan shalat Tahajud akan
mendapatkan anak laki-laki.

[Kedua] Amalan yang disebutkan di dalamnya balasan dunia. Contohnya adalah
silaturrahim dan berbakti kepada kedua orang tua. Semisal silaturrahim,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa senang untuk dilapangkan rizki dan dipanjangkan umurnya, maka
jalinlah tali silaturrahim (hubungan antar kerabat).” (HR. Bukhari dan
Muslim)

Jika seseorang melakukan amalan semacam ini, namun hanya ingin
mengharapkan balasan dunia saja dan tidak mengharapkan balasan akhirat,
maka orang yang melakukannya telah terjatuh dalam kesyirikan. Namun, jika
dia melakukannya tetap mengharapkan balasan akhirat dan dunia sekaligus,
juga dia melakukannya dengan ikhlash, maka ini tidak mengapa dan balasan
dunia adalah sebagai tambahan nikmat untuknya karena syari’at telah
menunjukkan adanya balasan dunia dalam amalan ini. (Lihat At Tamhid Li
Syarh Kitabit Tauhid)

Perbedaan dan Kesamaan Beramal untuk Meraih Dunia dengan Riya’
Syaikh Muhammad At Tamimi –rahimahullah- membawakan pembahasan ini dalam
Kitab Tauhid pada Bab “Termasuk kesyirikan, seseorang beribadah untuk
mencari dunia”. Beliau –rahimahullah- membawakannya setelah membahas
riya’. Kenapa demikian?
Riya’ dan beribadah untuk mencari dunia, keduanya sama-sama adalah amalan
hati dan terlihat begitu samar karena tidak nampak di hadapan orang
banyak. Namun, Keduanya termasuk amalan kepada selain Allah Ta’ala. Ini
berarti keduanya termasuk kesyirikan yaitu syirik khofi (syirik yang
samar). Keduanya memiliki peredaan. Riya’ adalah beramal agar dilihat oleh
orang lain dan ingin tenar dengan amalannya. Sedangkan beramal untuk
tujuan dunia adalah banyak melakukan amalan seperti shalat, puasa, sedekah
dan amalan sholeh lainnya dengan tujuan untuk mendapatkan balasan segera
di dunia semacam mendapat rizki yang lancar dan lainnya.

Tetapi perlu diketahui, para ulama mengatakan bahwa amalan seseorang untuk
mencari dunia lebih nampak hasilnya daripada riya’. Alasannya, kalau
seseorang melakukan amalan dengan riya’, maka jelas dia tidak mendapatkan
apa-apa. Namun, untuk amalan yang kedua, dia akan peroleh kemanfaatan di
dunia. Akan tetapi, keduanya tetap saja termasuk amalan yang membuat
seseorang merugi di hadapan Allah Ta’ala. Keduanya sama-sama bernilai
syirik dalam niat maupun tujuan. Jadi kedua amalan ini memiliki kesamaan
dari satu sisi dan memiliki perbedaan dari sisi yang lain.

Kenapa Engkau Tidak Ikhlash Saja dalam Beramal?
Sebenarnya jika seseorang memurnikan amalannya hanya untuk mengharap wajah
Allah dan ikhlash kepada-Nya niscaya dunia pun akan menghampirinya tanpa
mesti dia cari-cari. Namun, jika seseorang mencari-cari dunia dan dunia
yang selalu menjadi tujuannya dalam beramal, memang benar dia akan
mendapatkan dunia tetapi sekadar yang Allah takdirkan saja. Ingatlah ini …
!!
Semoga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa menjadi renungan bagi
kita semua,
“Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan
memberikan kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang
tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan tunduk hina padanya.
Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan
menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan
keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan
baginya.” (HR. Tirmidzi no. 2465. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih. Lihat penjelasan hadits ini di Tuhfatul Ahwadzi, 7/139)

Marilah –saudaraku-, kita ikhlashkan selalu niat kita ketika kita beramal.
Murnikanlah semua amalan hanya untuk menggapai ridho Allah. Janganlah
niatkan setiap amalanmu hanya untuk meraih kenikmatan dunia semata.
Ikhlaskanlah amalan tersebut pada Allah, niscaya dunia juga akan engkau
raih. Yakinlah hal ini …!!
Semoga Allah selalu memperbaiki aqidah dan setiap amalan kaum muslimin.
Semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepada mereka ke jalan yang lurus.
Alhamdulillahilladz i bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala
nabiyyina Muhammad wa ‘ala wa alihi wa shohbihi wa sallam.

Rujukan:
1. Al Qoulus Sadiid Syarh Kitab At Tauhid, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir
As Sa’di, Wizarotusy syu’un Al Islamiyyah wal Awqof wad Da’wah wal
Irsyad-Al Mamlakah Al ‘Arobiyah As Su’udiyah.
2. I’aanatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, Sholeh bin Fauzan bin
‘Abdillah Al Fauzan.
3. At Tamhid li Syarhi Kitabit Tauhid, Sholeh bin ‘Abdul Aziz Alu Syaikh,
Daar At Tauhid.
4. Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Al
Qurosyi Ad Dimasyqi, Tahqiq: Saami bin Muhammad Salamah, Dar Thobi’ah Lin
Nasyr wat Tauzi’.
5. Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jaami’it Tirmidzi, Muhammad ‘Abdurrahman bin
‘Abdirrahim Al Mubarakfuriy Abul ‘Alaa, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut.

No comments: