Seorang abid (ahli ibadah) pernah berdoa agar Allah SWT memanjangkan usianya, supaya ia dapat beribadah lebih banyak. Oleh Allah doa itu dikabulkan, sehingga ia berusia 500 tahun.
Setelah ia wafat, Allah membangkitkannya kembali untuk diperhitungkan amal dan dosanya. Di akhirat, Allah memerintahkan malaikat untuk membawa si abid ke surga karena rahmat-Nya. Tapi abid itu menolak seraya berkata, "Kenapa karena rahmat-Mu?"
Tapi Allah tetap memerintahkan malaikat untuk membawa abid tadi ke surga karena rahmat-Nya. Dan kembali si abid menolak.
Hingga untuk ketiga kalinya, ketika para malaikat hendak mengantarkan ia ke surga, abid masih enggan. "Ya Allah, bukankah aku masuk surga karena banyaknya ibadahku, kenapa Engkau mengatakan karena rahmat-Mu?"
Lalu Allah memerintahkan malaikat untuk menimbang antara ibadah si abid dengan rahmat-Nya. Ternyata, rahmat Allah jauh lebih berat timbangannya daripada ibadah abid. Hampir saja Allah memerintahkan malaikat-Nya untuk membawa abid ke neraka, tapi karena abid mengakui kekhilafannya, maka ia kemudian dibawa ke surga. Satu lagi bukti bahwa rahmat Allah lebih besar nilainya daripada ibadah seorang abid.
Maklumlah, jika seorang ahli ibadah merasa yakin dengan amalnya. Bukankah masa 500 tahun itu bukan waktu yang sebentar? Apalagi ia mengisinya dengan ibadah. Tapi, ternyata rahmat yang Allah limpahkan kepadanya selama 500 tahun itu jauh lebih banyak daripada ibadah yang ia kerjakan. Sedangkan Allah tidak pernah lalai apalagi curang.
Membaca kisah filosofis di atas, seorang Mukmin tidak kemudian beranggapan bahwa ibadah tidak perlu, mengingat rahmat Allah selalu saja lebih berat timbangannya daripada amal ibadah yang kita kerjakan. Sehingga, semua terserah Allah, memasukkan ke surga atau neraka.
Pemikiran yang benar, jika usia 500 tahun yang dihabiskan untuk ibadah masih belum cukup untuk sekadar mengimbangi rahmat Allah, maka bagaimana jika kurang dari itu, 60 tahun rata-rata usia kita, misalnya. Itu pun jika betul-betul diisi dengan ibadah seperti yang dilakukan abid, jika tidak?
Jika 24 jam dalam sehari kita masih menggunakan perhitungan jahiliyah dengan jam tidur 8 jam, maka paling tidak sepertiga hidup kita masih diisi oleh hal-hal mubah. Lalu, adakah jaminan bahwa dua per tiga sisanya digunakan untuk ibadah? Bagaimana dengan dosa, apakah lebih sedikit atau lebih banyak menyita waktu daripada hal-hal yang mubah?
Rasulullah saw mencontohkan ummatnya untuk senantiasa bermuhasabah (introspeksi diri) sebelum tidur. Di ujung lelah itu, kita dibiasakan menghitung ulang segala kekhilafan. Dari penyakit hati, panca indra yang tak terjaga, hingga zhalim terhadap saudara. Jika dikalkulasikan antara perbuatan mubah, sia-sia, hingga dosa, maka berapa bagian sisa waktu yang kita gunakan untuk ibadah? Adakah separuh usia saja?
Beliau juga pernah bersabda, "Sekali-kali amal salah seorang di antara kalian tidak akan mampu memasukkannya ke dalam surga." Mereka bertanya, "Tidak pula engkau, wahai Rasulullah?" beliau menjawab, "Tidak pula aku, kecuali Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku." (muttafaq ‘alaih).
Tidak pula aku, kata beliau! Mahasuci Allah yang tidak kikir, sehingga kita masih punya banyak jalan untuk beribadah, guna mengundang rahmat-Nya.
"…Allah berfirman, ‘Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.’" (QS. Al-A’raf [7]: 156)
Begitu banyak perbuatan remeh yang bernilai ibadah di sisi Allah, seperti mendoakan orang yang bersin, menyingkirkan duri di jalan, memberi makan hewan, menjenguk orang sakit, berwajah manis saat bertemu, menebar salam, menasihati teman….
"Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir." (QS. Yusuf [12]: 87)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment