Hati-hati pada Dokter?

Halo rekan-rekan ,

Ini tulisan yang mungkin 'aneh', saya sebagai seorang dokter justru meminta
rekan-rekan untuk berhati-hati pada dokter. Ini mengikuti tulisan Pak Irwan
Julianto di Kompas 4 Maret 2009 lalu,

Ceritanya begini, beberapa hari ini saya mengurusi abang saya yang sakit
demam berdarah (DBD). Saya buatkan surat pengantar untuk dirawat inap di
salah satu RS swasta yang terkenal cukup baik pelayanannya. Sejak masuk UGD
saya temani sampai masuk ke kamar perawatan & tiap hari saya tunggui, jadi
sangat saya tau perkembangan kondisinya.

Abang saya paksa dirawat inap karena trombositnya 82 ribu, agak
mengkuatirkan, padahal dia menolak karena merasa diri sudah sehat, nggak
demam, nggak mual, hanya merasa badannya agak lemas. Mulai di UGD sudah
'mencurigakan' , karena saya nggak menyatakan bahwa saya dokter pada
petugas di RS, jadi saya bisa dengar berbagai keterangan/penjelas an &
pertanyaan dari dokter & perawat yang menurut saya 'menggelikan' . Pasien
pun diperiksa ulang darahnya, ini masih bisa saya terima, hasil
trombositnya tetap sama, 82 ribu.

Ketika Abang akan di-EKG, dia sudah mulai 'ribut' karena Desember lalu baru
tes EKG dengan treadmill dengan hasil sangat baik. Lalu saya tenangkan
bahwa itu prosedur di RS. Yang buat saya heran adalah Abang harus disuntik
obat Ranitidin (obat untuk penyakit lambung), padahal dia nggak sakit
lambung, & nggak mengeluh perih sama sekali. Obat ini disuntikkan ketika
saya ke mengantarkan sampel darah ke lab.

Oleh dokter jaga diberi resep untuk dibeli, diresepkan untuk 3 hari padahal
besok paginya dokter penyakit dalam akan berkunjung & biasanya obatnya
pasti ganti lagi. Belum lagi resepnya pun isinya nggak tepat untuk DBD.
Jadi resep nggak saya beli. Dokter penyakit dalamnya setelah saya tanya ke
teman yang praktik di RS tersebut dipilihkan yang dia rekomendasikan,
katanya 'bagus & pintar', ditambah lagi dia dokter tetap di RS tersebut,
jadi pagi-sore selalu ada di RS.

Malamnya via telepon dokter penyakit dalam beri instruksi periksa lab
macam-macam, setelah saya lihat banyak yang 'nggak nyambung', jadi saya
minta Abang untuk hanya setujui sebagian yang masih rasional.

Besoknya, saya datang agak siang, dokter penyakit dalam sudah visite &
nggak komentar apapun soal pemeriksaan lab yang ditolak. Saya diminta
perawat untuk menebus resep ke apotek. Saya lihat resepnya, saya langsung
bingung, di resep tertulis obat Ondansetron suntik, obat mual/muntah untuk
orang yang sakit kanker & menjalani kemoterapi. Padahal Abang nggak mual
apalagi muntah sama sekali. Tertulis juga Ranitidin suntik, yang nggak
perlu karena Abang nggak sakit lambung. Bahkan parasetamol bermerek pun
diresepkan lagi padahal Abang sudah ngomong kalau dia sudah punya banyak.

Saya sampai cek di internet apa ada protokol baru penanganan DBD yang saya
lewatkan atau kegunaan baru dari Ondansetron, ternyata nggak. Akhirnya saya
hanya beli suplemen vitamin aja dari resep.

Pas saya serahkan obatnya ke perawat, dia tanya 'obat suntiknya mana?',
saya jawab bahwa pasien nggak setuju diberi obat-obat itu. Perawatnya malah
seperti menantang, akhirnya dengan terpaksa saya beritau bahwa saya dokter
& saya yang merujuk pasien ke RS, Abang menolak obat-obat itu setelah tanya
pada saya. Malah saya dipanggil ke nurse station & diminta tandatangani
surat refusal consent (penolakan pengobatan) oleh kepala perawat.

Saya beritahu saja bahwa pasien 100% sadar, jadi harus pasien yang
tandatangani, itu pun setelah dijelaskan oleh dokternya langsung. Sementara
dokter saat visite nggak jelaskan apapun mengenai obat-obat yang dia
berikan. Saya tinggalkan kepala perawat tersebut yang 'bengong'.

Saat saya tunggu Abang, pasien di sebelah ranjangnya ternyata sakit DBD
juga. Ternyata dia sudah diresepkan 5 botol antibiotik infus yang mahal &
sudah 2 dipakai, padahal kondisi fisik & hasil lab nggak mendukung dia ada
infeksi bakteri. Pasien tersebut ditangani oleh dokter penyakit dalam yang
lain. Saat dokter penyakit dalam pasien tersebut visite, dia hanya ngomong
'sakit ya?', 'masih panas?', 'ya sudah lanjutkan saja dulu terapinya',
visite nggak sampai 3 menit saya hitung.

Besoknya dokter penyakit dalam yang tangani Abang visite kembali & nggak
komentar apapun soal penolakan membeli obat yang dia resepkan. Dia hanya
ngomong bahwa kalau trombositnya sudah naik maka boleh pulang. Saya jadi
membayangkan nggak heran Ponari dkk laris, karena dokter pun ternyata
pengobatannya nggak rasional. Kasihan banyak pasien yang terpaksa diracun
oleh obat-obat yang nggak diperlukan & dibuat 'miskin' untuk membeli
obat-obat yang mahal tersebut. Ini belum termasuk dokter ahli yang sudah
'dibayar' cukup mahal ternyata nggak banyak menjelaskan pada pasien
sementara kadang kala keluarga sengaja berkumpul & menunggu berjam-jam
hanya
untuk menunggu dokter visite.

Abang sampai ngomong bahwa apa semua pasien harus ditunggui oleh saudaranya
yang dokter supaya nggak dapat pengobatan sembarangan? Abang juga merasa
bersyukur nggak jadi diberi berbagai macam obat yang nggak dia perlukan &
jadi racun di tubuhnya.

Sebulan lalu pun saya pernah menunggui saudara saya yang lain yang dirawat
inap di salah satu RS swasta yang katanya terbaik di salah satu kota kecil
Jateng akibat sakit tifoid. Kejadian serupa terjadi pula, sangat banyak
obat yang nggak rasional diresepkan oleh dokter penyakit dalamnya.

Kalau ini nggak segera dibereskan, saya nggak bisa menyalahkan masyarakat
kalau mereka lebih memilih pengobatan alternatif atau berobat ke LN. Semoga
bisa berguna sebagai pelajaran berharga untuk rekan-rekan semua agar
berhati-hati & kritis pada pengobatan dokter.

rgds
Billy

1 comment:

Akhi Marbey said...

Woow Sungguh..!Anda Seorang Dokter yang bijaksana,Trima kasih Atas Artikelnya..sungguh Sangat bermanfaat Semoga Allah Senantiasa Membimbing hamba yang menjadi dokter seperti Anda.Syukron