Mbah Urip vs Rendra



Ada yang agak aneh di cover tabloid Nova minggu ini... Edisi khusus...
ada foto mba Surip satu halaman penuh disitu.. "WE LOVE YOU FULL MBAH SURIP!!!"
sementara di pojok kiri atas ada tulisan kecil 'selamat jalan si burung merak'.. (bagi yang tidak kenal julukan WS Rendra, dijamin pasti bingung).

agak aneh saja bagi saya karena bagi saya WS. RENDRA lebih cocok jadi cover sementara mba Surip... who is this guy anyway? is he so important to be put on the front page?
Begitu hebatnya hanya dengan membuat hits satu yang gendong-gendongan itu, serta ketawanya yang slenge'an, yang ternyata banyak penduduk negeri ini yang suka atau ikut-ikutan suka, lalu kepergian mbah dipanggil Yang Maha Kuasa jadi begitu hebohnya..

iseng saya coba googling antara dua nama ini, ternyata ada 1.920.000 informasi tentang mba Surip di internet, sementara tentang Rendra 'hanya' 411.000.
tapi tentu bukan itu yang membuat mba Surip lebih pantas jadi cover depan daripada rendra..

Data di Wikipedia, the free encyclopedia

Mbah Surip

Mbah Surip (born Urip Achmad Ariyanto, 5 May 1949 - 4 August 2009) was an Indonesian singer who became famous in 2009 for his single "Tak Gendong". At first, Mbah surip lived in poverty and was just a street performer, recently he became famous and recently passed away due to heart failure.

that's it.

W. S. Rendra

Nama lahir Willibrordus Surendra Broto Rendra
Lahir 7 November 1935
Solo, Indonesia
Meninggal 6 Agustus 2009 (umur 73)
Jakarta, Indonesia
Nama lain W.S. Rendra
Pekerjaan aktor, penyair
Wahyu Sulaeman Rendra (lahir sebagai Willibrordus Surendra Broto Rendra, lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935 – wafat di Jakarta, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun) adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok. Semenjak masa kuliah beliau sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah.

Masa kecil
Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya.


Pendidikan
TK Marsudirini, Yayasan Kanisius.
SD s/d SMU Katolik, St. Yosef, Solo - Tamat pada tahun 1955.
Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta - Tidak tamat.
mendapat beasiswa American Academy of Dramatical Art (1964 - 1967).

Rendra sebagai sastrawan
Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.

Ia petama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an.

"Kaki Palsu" adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.

Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India.

Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).

Bengkel Teater
Pada tahun 1961, sepulang dari Amerika Serikat, Rendra mendirikan grup teater di Yogyakarta. Akan tetapi, grup itu terhenti karena ia pergi lagi ke Amerika Serikat. Ketika kembali lagi ke Indonesia (1968), ia membentuk kembali grup teater yang bernama Bengkel Teater. Bengkel Teater ini sangat terkenal di Indonesia dan memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air. Sampai sekarang Bengkel Teater masih berdiri dan menjadi basis bagi kegiatan keseniannya.

Penelitian tentang karya Rendra
Profesor Harry Aveling, seorang pakar sastra dari Australia yang besar perhatiannya terhadap kesusastraan Indonesia, telah membicarakan dan menerjemahkan beberapa bagian puisi Rendra dalam tulisannya yang berjudul “A Thematic History of Indonesian Poetry: 1920 to 1974”. Karya Rendra juga dibicarakan oleh seorang pakar sastra dari Jerman bernama Profesor Rainer Carle dalam bentuk disertasi yang berjudul Rendras Gedichtsammlungen (1957—1972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen Indonesischen Literatur. Verlag von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977.

Penghargaan
Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954)
Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956)
Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970)
Hadiah Akademi Jakarta (1975)
Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976)
Penghargaan Adam Malik (1989)
The S.E.A. Write Award (1996)
Penghargaan Achmad Bakri (2006).

Kontroversi pernikahan, masuk Islam dan julukan Burung Merak
Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu di antara muridnya adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.

Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang terjaga, tutur Sito tentang Rendra, kepada Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi. Setelah menjadi muslim namanya menjadi Wahyu Sulaeman Rendra.

Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi alasan bahwa ketertarikannya pada Islam sesungguhnya sudah berlangsung lama. Terutama sejak persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang.

Toh kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menyebabkan Rendra dituding sebagai haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja. Seperti saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu, julukan Burung Merak melekat padanya hingga kini. Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati

Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti pada tahun 1981.

Beberapa karya

Drama
Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
Bip Bop Rambaterata (Teater Mini Kata)
SEKDA (1977)
Selamatan Anak Cucu Sulaiman (dimainkan 2 kali)
Mastodon dan Burung Kondor (1972)
Hamlet (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)- dimainkan dua kali
Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya Sophokles, aslinya berjudul "Oedipus Rex")
Lisistrata (terjemahan)
Odipus di Kolonus (Odipus Mangkat) (terjemahan dari karya Sophokles,
Antigone (terjemahan dari karya Sophokles,
Kasidah Barzanji (dimainkan dua kali)
Perang Troya Tidak Akan Meletus (terjemahan dari karya Jean Giraudoux asli dalam bahasa Prancis: "La Guerre de Troie n'aura pas lieu")
Panembahan Reso (1986)
Kisah Perjuangan Suku Naga (dimainkan 2 kali)

Sajak/Puisi
Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta
Blues untuk Bonnie
Empat Kumpulan Sajak
Jangan Takut Ibu
Mencari Bapak
Nyanyian Angsa
Pamphleten van een Dichter
Perjuangan Suku Naga
Pesan Pencopet kepada Pacarnya
Potret Pembangunan Dalam Puisi
Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan)
Rick dari Corona
Rumpun Alang-alang
Sajak Potret Keluarga
Sajak Rajawali
Sajak Seonggok Jagung
Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api
State of Emergency
Surat Cinta

Satu yang bisa saya simpulkan dari apa yang saya lihat, semua ini mungkin hanya didasari unsur ekonomi saja...
berita tentang mbah Surip jelas lebih menjual dibandingkan Rendra..
itulah yang menjadi alasan tabloid wanita Nova memampang mbah Surip sebagai Cover of the week.

Saya yakin, 10 tahun kedepan mbah surip pasti lenyap dari ingatan banyak orang..
sementar WS Rendra, dia akan tetap diingat sebagai salah satu sastrawan besar Indonesia.
(upss... saya seharusnya tidak boleh meramal-ramal seperti itu, astaghfirullah.. opini saya itu Insya Allah kalau 10 tahun dunia ini masih ada...... and it base on my humble opinion).

1 comment:

Blogger Hafiztaadi said...

Saya sangat senang dengan tulisan yang anda muat. Kedua orang itu begitu besar diciptakan Allah SWt. Keduanya juga menanam 'batang dan tubuh' idealisme dalam diri mereka. Keduanya juga pernah menyimpan energi yang sangat besar. Keduanya punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tetapi keduanya juga telah dimiliki orang banyak dan bangsa ini. Yang tidak kuketahui apakah bangsa ini memiliki mereka berdua.