Romantis?

Kiriman email dari adikku pagi ini, thanks sis..

Buat para istri dan calon istri..

Romantis?

Kata itu terlontar spontan dari suamiku. Komentar saat aku hanya adem ayem menanggapi kata-katanya yang mesra di sela kesibukanku. Ketika masih lajang aku selalu menyukai semua hal yang berbau romantis. Semuanya, bacaan ataupun tontonan yang romantis selalu dengan penuh semangat kunikmati. Bahkan aku bisa menghabiskan waktu dengan tidak tidur hanya untuk menyelesaikan satu buku tebal, yang menurutku sangat romantis isinya. Sayang kalau terpotong, selain tentunya rasa penasaran akan ending-nya.

Bayangan memiliki suami yang romantis pun lekat di benak. Dia harus begini. Dia akan begitu, dia akan begini. Semua mimpi itu. Mimpiku akan sosok Sang Pangeran. Sekarang, mengenangnya aku jadi malu. Aku merasa konyol ketika mengingat betapa menggebu dan hausnya aku akan sebentuk keromantisan. Betapa tidak pada tempatnya untuk menikmati suatu keromantisan yang tidak semestinya. Betapa seringkali aku menjadi tidak membumi dengan semua keromantisan itu.

Mungkin kini seiring dengan waktu, kedewasaan dan sikap lebih realistis menghampiriku. Aku bisa lebih tenang dan tidak meledak-ledak lagi dalam mengeskrepsikan segalanya. Juga lebih pada haknya. Pun rasa sayang. Terlebih sekarang setelah memiliki suami.

Ketika awal menikah teman temanku selalu bertanya. Bagaimana dengan keromantisan yang dulu aku idamkan? Adakah kujumpai itu dalam rumah tanggaku? Segala puji bagi Allah yang menciptakan rasa kasih dan sayang di antara pasangan suami istri. Betapa indah merasakan kasih sayang itu, seperti air sungai mengalir tenang namun pasti. Tidak dengan hasrat menggebu dan menderu. Itulah yang kurasakan sekarang.

Tiba-tiba aku jadi merenungi komentar suamiku. Dia yang selama ini mengajariku akan suatu makna keromantisan. Tidak dengan rangkaian bunga, juga tidak dengan kata-kata. Tapi dengan perhatian nyata. Lewat bantuannya sehari-hari dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Suatu hal yang mengherankan bagi tetanggaku. Melihatnya membersihkan tangga appartemen kami, belanja, atau mengurus cucian baju. Juga lewat tatapan mesranya, ketika melihatku merawat anak-anak kami. Ketika aku memandikan dan memijat si kecil Ibrahim atau membacakan putri kami buku kesukaannya. Juga ketika aku mengajari putri kami membaca Iqro. Tatapan syukur atas semua karuniaNya. Walau terkadang dia memaksakan juga membelikan aku sekuntum bunga, agar aku berbunga-bunga. Padahal aku sangat tahu ia lebih senang membawa pulang makanan ke rumah.

Mencintai adalah memberi. Dan pemberian pertama jika kita benar-benar mencintai adalah memberikan perhatian, tak bersyarat. Itu yang berusaha kulakukan dalam keseharian kami dengan bumbu kemesraan. Memberikan perhatian dalam segala bentuknya. Aku tahu lama kelamaan suamiku menikmatinya bahkan tergantung akan perhatian, terlebih sikap yang mesra.

Namun memiliki dua anak batita kini membuatku cukup disibukkan. Terutama di negara Jerman ini. Semuanya harus kurampungkan sendiri. Belum lagi amanah-amanah lainnya. Tak terasa hal-hal kecil yang dulu sering kulakukan mulai berkurang, bahkan perlahan menjadi tidak pernah.

Persepsi romantis yang dulu kutuntut darinya juga bergeser. Bagiku menjadi lebih berarti ketika dia pulang kerja, lalu langsung membantuku mengerjakan perkerjaan rumah. Meringankan beban harianku. Atau ketika dia bermain dengan anak-anak kami dan memberikan aku waktu untuk melakukan aktivitas pribadiku.

Seiring dengan itu pula, bentuk kemesraan menjadi berkurang tanpa kuasa kuhindari. Akumengganggap lebih romantis baginya jika makanan telah siap sedia.. Atau rumah telah rapi ketika dia pulang kerja, walau kenyataan lebih banyak berantakannya. Persepsi keromantisanku bergeser ke arah praktis. Namun aku yakin suamiku ridho. Dia memang tidak pernah menuntut banyak dariku. Walau ternyata dia menikmati semua hal kecil romantis yang sering kulakukan.

Seorang ustadz pernah bertandang ke rumah kami. Beliau terpaksa harus berpisah 2 bulan lebih dari keluarganya demi memenuhi tugas di Jerman. Beliau berkata, selama ini kehidupan rumah tangganya penuh dengan rutinitas dan pengertian. Kata-kata sayang tidak untuk diucapkan, karena dianggap masing-masing sudah tahu. Tapi selama 2 bulan berpisah, hampir tiap hari beliau mengirimkan SMS bernada mesra pada istrinya. Dan beliau menikmatinya. Perhatian dengan selimut kemesraan. Beliau berkata, "Baru kali ini nih menyempatkan melakukannya. " Sebelumnya? Mana sempat, banyak yang harus dikerjakan dan dituntaskan.

Aku berusaha mengingat, kapan terakhir kali aku membuat note kecil untuk suamiku. Sudah lama sekali. Kebiasaan menulis note kecil, sekedar ucapan selamat kerja dan tulisan kecil di sela bukunya. Atau note kecil di kamar mandi. Atau mengirimkan email-email singkat yang bernada mesra. Sementara aku sekarang lebih memilih menelponnya ke tempat kerja. Lebih praktis menurutku. Tiba-tiba aku tersadarkan betapa banyak 'jatah' waktu untuk suami yang sering kali terabaikan. Hingga akhirnya celotehannya menyadarkanku dengan halus. Dia merindukannya. Celotehannya membuatku berazzam untuk selalu menjaga rasa kasih sayang di antara kami, dalam segala macam bentuknya. Dengan perhatian baik dalam bentuk romantis ataupun praktis.

Malam ini, ketika menulis ingin rasanya segera kubangunkan suamiku, kupeluk dan mengucapkan, "hab dich sehr lieb." Tapi kuurungkan niatku, melihatnya begitu terlelap lelah. Ah, mungkin esok pagi saja ketika dia bangun.

***

No comments: