Andai Najwa Shihab tak mentweet surat pembaca Hendra NS ini, mungkin ceritanya akan berbeda. Dunia maya memang luar biasa. Dengan cepat sebuah isu langsung menggelinding bak bola liar.
Kemudian mediapun menyambut. Langsung saja surat pembaca Hendra NS ini ramai diperbicangkan, bahkan seorang Presiden SBY menanggapi serius. Sebenarnya seperti apa sih isi surat pembaca tersebut?
Kemudian mediapun menyambut. Langsung saja surat pembaca Hendra NS ini ramai diperbicangkan, bahkan seorang Presiden SBY menanggapi serius. Sebenarnya seperti apa sih isi surat pembaca tersebut?
Berikut isi lengkap surat pembaca Hendra NS yang dimuat di harian Kompas Jumat 16 Juni 2010.
Sebagai tetangga dekat Pak SBY, hampir saban hari saya menyaksikan arogansi Patroli dan Pengawalan (Patwal) iring-iringan Presiden di jalur Cikeas-Cibubur sampai Tol Jagorawi. Karena itu, saya --juga mayoritas pengguna jalan itu-- memilih menghindar dan menjauh bila terdengar sirene Patwal.
Namun, kejadian Jumat (9/7) sekitar pukul 13.00 WIB di Pintu Tol Cililitan (antara Tol Jagorawi dan tol dalam kota) sungguh menyisakan pengalaman traumatik, khususnya bagi anak perempuan saya. Setelah membayar tarif tol dalam kota, terdengar suara sirene dan hardikan lewat mikrofon untuk segera menyingkir. Saya pun sadar, Pak SBY atau keluarganya akan lewat. Saya dan pengguna jalan lain memperlambat kendaraan, mencari posisi berhenti paling aman.
Tiba-tiba muncul belasan mobil Patwal membuat barisan penutup semua jalur, kira-kira 100 meter setelah Pintu Tol Cililitan. Mobil kami paling depan. Mobil Patwal yang tepat di depan saya dengan isyarat tangan memerintahkan untuk bergerak ke kiri. Secara perlahan, saya membelokkan setor ke kiri.
Namun, muncul perintah lain lewat pelantam suara untuk menepi ke kanan dengan menyebut merek dan tipe mobil saya secara jelas. Saat saya ke kanan, Patwal di depan murka bilang ke kiri. Saya ke kiri, suara dari pelantam membentak ke kanan. Bingung dan panik, saya pun diam menunggu perintah mana yang saya laksanakan.
Patwal di depan turun dan menghajar kap mesin mobil saya dan memukul spion kanan sampai terlipat. Dari mulutnya terdengar ancaman, "Apa mau Anda saya bedil?"
Setelah menepi di sisi paling kiri, polisi itu menghampiri saya. Makian dan umpanan meluncur tanpa memberi saya kesempatan bicara. Melihat putri saya ketakutan, saya akhirnya mendebatnya. Saya jelaskan situasi tadi. Amarahnya tak mereda, malah terucap alasan konyol tak masuk akal seperti "dari mana sumber suara speaker?", atau "mestinya kamu ikuti saya saja", atau "tangan saya sudah mau patah gara-gara memberi tanda ke kiri".
Permintaan saya dipertemukan dengan oknum pemberi perintah dari pelantam tak digubris. Intimidasi hampir 10 menit yang berlangsung tepat di depan Kantor Jasa Marga itu tak mengetuk satu pun dari anggota Patwal lain yang menyaksikan kejadian itu. Paling tidak, menunjukkan diri sebagai pelayan pelindung masyarakat.
Karena dialog tak kondusif, saya buka identitas saya sebagai wartawan untuk mencegah oknum melakukan tindak kekerasan. Ia malah melecehkan profesi wartawan dan tak mengakui perbuatannya merusak mobil saya. Identitasnya tertutup rompi. Oknum ini malah mengeluarkan ocehan, "Kami ini tiap hari kepanasan dengan gaji kecil. Emangnya saya mau kerjaan ini?"
Saat rombongan SBY lewat, ia segera berlari menuju mobil PJR-nya, mengikuti belasan temannya meninggalkan saya dan putri saya yang terbengong-bengong.
Pak SBY yang kami hormati, mohon pindah ke Istana Negara sebagai tempat kediaman resmi presiden. Betapa kami saban hari sengsara setiap Anda dan keluarga keluar dari rumah di Cikeas. Cibubur hanya lancar buat Presiden dan keluarga, tidak untuk kebanyakan warga.
Namun, kejadian Jumat (9/7) sekitar pukul 13.00 WIB di Pintu Tol Cililitan (antara Tol Jagorawi dan tol dalam kota) sungguh menyisakan pengalaman traumatik, khususnya bagi anak perempuan saya. Setelah membayar tarif tol dalam kota, terdengar suara sirene dan hardikan lewat mikrofon untuk segera menyingkir. Saya pun sadar, Pak SBY atau keluarganya akan lewat. Saya dan pengguna jalan lain memperlambat kendaraan, mencari posisi berhenti paling aman.
Tiba-tiba muncul belasan mobil Patwal membuat barisan penutup semua jalur, kira-kira 100 meter setelah Pintu Tol Cililitan. Mobil kami paling depan. Mobil Patwal yang tepat di depan saya dengan isyarat tangan memerintahkan untuk bergerak ke kiri. Secara perlahan, saya membelokkan setor ke kiri.
Namun, muncul perintah lain lewat pelantam suara untuk menepi ke kanan dengan menyebut merek dan tipe mobil saya secara jelas. Saat saya ke kanan, Patwal di depan murka bilang ke kiri. Saya ke kiri, suara dari pelantam membentak ke kanan. Bingung dan panik, saya pun diam menunggu perintah mana yang saya laksanakan.
Patwal di depan turun dan menghajar kap mesin mobil saya dan memukul spion kanan sampai terlipat. Dari mulutnya terdengar ancaman, "Apa mau Anda saya bedil?"
Setelah menepi di sisi paling kiri, polisi itu menghampiri saya. Makian dan umpanan meluncur tanpa memberi saya kesempatan bicara. Melihat putri saya ketakutan, saya akhirnya mendebatnya. Saya jelaskan situasi tadi. Amarahnya tak mereda, malah terucap alasan konyol tak masuk akal seperti "dari mana sumber suara speaker?", atau "mestinya kamu ikuti saya saja", atau "tangan saya sudah mau patah gara-gara memberi tanda ke kiri".
Permintaan saya dipertemukan dengan oknum pemberi perintah dari pelantam tak digubris. Intimidasi hampir 10 menit yang berlangsung tepat di depan Kantor Jasa Marga itu tak mengetuk satu pun dari anggota Patwal lain yang menyaksikan kejadian itu. Paling tidak, menunjukkan diri sebagai pelayan pelindung masyarakat.
Karena dialog tak kondusif, saya buka identitas saya sebagai wartawan untuk mencegah oknum melakukan tindak kekerasan. Ia malah melecehkan profesi wartawan dan tak mengakui perbuatannya merusak mobil saya. Identitasnya tertutup rompi. Oknum ini malah mengeluarkan ocehan, "Kami ini tiap hari kepanasan dengan gaji kecil. Emangnya saya mau kerjaan ini?"
Saat rombongan SBY lewat, ia segera berlari menuju mobil PJR-nya, mengikuti belasan temannya meninggalkan saya dan putri saya yang terbengong-bengong.
Pak SBY yang kami hormati, mohon pindah ke Istana Negara sebagai tempat kediaman resmi presiden. Betapa kami saban hari sengsara setiap Anda dan keluarga keluar dari rumah di Cikeas. Cibubur hanya lancar buat Presiden dan keluarga, tidak untuk kebanyakan warga.
HENDRA NS
Cibubur
-------------------
Saluut pak Hendra, kalau tidak disentil.. barangkali mereka tidak merasakan bagaimana rasanya jadi warga biasa yang hanya bisa terbengong-bengong menunggu dalam kemacetan rombongan pejabat mau lewat.
Jaman dulu 10-20 tahun yang lalu kalau kebetulan tidak sengaja saya melihat iring-iringan mobil presiden lewat kayaknya beruntung banget bisa 'merasa seolah melihat' bapak presiden dalam mobilnya, bangga diceritakan pada keluarga dirumah tadi melihat iringan mobil RI1 di jalan.
Tapi sekarang, kalau kebetulan tidak sengaja berpapasan dengan iring-iringan mobil presiden lewat, kok rasanya lain ya?... bawa'annya lemes. harus menunggu lama, atau harus cepat-cepat nyingkir atau berhenti.. alias rada takut... kenapa bisa beda rasa gitu ya?
2 comments:
walaupun kita menyuarakan suara kita, tetep aja nanti bebrapa waktu kemudian akan terulang kembali masalah tersebut.
Semakin tidak terkendali saja, kita hanya bisa berharap yang terbaik,
Visit my Jersey Jaket Grade Ori Thailand
Post a Comment